Tuesday, June 19, 2012

Cerita Tak Penting

Cerita gadis remaja yang tlah mulai belajar tentang dunia. Ditulisnya dalam sebuah memo usang dan berdebu.

Bunda, Ayah... aku ingin menumpahkan sebagian keluh kesahku selama ini. Resahku yang sulit untuk aku bagikan kepada kalian. Tapi, nampaknya aku mulai ragu menjalaninya sendiri. Sudah tidak ada lagi sandaran untuk bertumpu.

Berawal dari Bunda dan Ayah memasukkanku ke sebuah kelas yang mungkin menurutku unik. Penuh dengan karakter siswa yang bermacam-macam. Namun, penuh pula dengan tantangan, karena mereka semua adalah wajah baru dalam duniaku. Awal perkenalan cukup mengasyikkan, diiringi canda tawa. Tapi, aku hanyalah seseorang yang terlalu pemalu. Sehingga sulit untuk berbaur dengan mereka yang penuh dengan gurau. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, aku sudah mulai terbiasa dengan kondisi mereka. Sudah mulai nyaman dan bisa bercanda bersama.

Sehari-hari aku hampir dekat dengan semua teman sekelasku. Empat temanku lah yang paling dekat, dua perempuan dan dua laki-laki. Anggap sajalah namanya Dinda, Wardah, Tony, dan Enggar. Mereka berempatlah yang selama ini asyik diajak curhat. Dinda yang dewasa, berprinsip kuat, berani, dan tenang. Wardah yang tingkahnya selalu lucu, sehingga sering membuat orang tertawa geli. Tony yang jagonya dengerin curhatan orang, nomor satu kalau disuruh kasih nasehat. Enggar yang selalu perhatian, tapi dia juga yang paling jago ngegombal. Mereka itu satu paket yang saling melengkapi dalam kehidupanku di kelas itu.

Tiap waktu selalu bersama mereka, karena di sanalah kehidupan luar rumahku. Namun, sepertinya tidak seperti rasa buah yang selalu manis, ada asam yang terselip di sana. Yah, Enggar... cowok yang perhatian, tapi juga penuh dengan kesombongan. Dalam benakku, perhatiannya itu terlihat terlalu tulus. Itu yang membuat hatiku terkadang berbisik kagum. Nampaknya, perubahan sikap Enggar kepadaku juga terlihat jelas. Aneh, itu yang terselubung dalam benakku. Aku memang perempuan yang kurang pengalaman dan tak tau apa-apa. Aku hanya melakukan segala sesuatu sesuai sikap orang-orang di sekitarku. Mereka bertingkah begitu, aku mencoba melakukan tanggapan sebaik mungkin. Namun, sepertinya aku salah bertindak dalam hal ini. Apa aku terlalu baik? Sehingga aku dapat terperosok. Aku suka Enggar, tapi bukan dirinya, melainkan sikap-sikapnya. Jika ia tidak ada dihadapanku, aku biasa, tidak ada ingatan tentang dia. Lebih lagi hampir semua teman sekelasku berkata jika dia juga suka aku. Bagaimana jantung ini tidak berdetak cepat.

Semakin lama dan lama. Aku terjebak beberapa pilihan. Yah, Enggar sudah punya cewek. Sempurna! Sejak SMP mereka berpacaran, aku kagum. Tapi, Enggar kok gitu ya. Ceweknya itu Lina. Lina sering sekali sms aku, tanya kabar kekasih setianya itu. Ada satu pertanyaan yang membuatku sesak, "Dia kalau di kelas dekat sama siapa?" Bunda, Ayah, aku bingung harus jawab apa. Menurut pandangan teman sekelasku, aku dan Enggar dekat, tapi bukan aku yang mendekat, melainkan Enggar. Ketika aku menjauh, Enggar selalu berusaha mendekat kembali. Aku harus jawab apa ini? Aku juga takut menyakiti perasaan Lina yang dalam pikiranku dia baik dan setia. Akhirnya ku putuskan melakukan kebohongan kecil yang ternyata menjadi besar dan amaaattt besar.

Tolonglah Enggar, jauhi aku! Hanya satu pinta itu yang aku ucapkan. Namun, suatu hari, entah itu sadar atau tidak, Enggar berkata, "Aku suka kamu." Cobaan apa lagi ini. Aku bingung dan semakin bingung. Dalam hal itu, tetaplah di mata semua orang dan Lina, akulah yang salah. Aku lah yang ingin mengambil cowok orang lain. Tapi, nyatanya juga tidak! Enggar tetap demikian, dengan sikap yang seakan begitu peduli. Aku ingin rasanya menyanggah dan menampar orang itu. Tapi, tahu sendirilah kalian tentang diriku? Aku manusia yang terlalu lemah dan tidak bertenaga dalam hal seperti ini. Aku jalani, seperti biasa dan penuh pikiran tentang kesalahan serta vonis-vonis yang akan aku terima.

Entah, sepertinya Lina tidak terima. Aku saat itu juga dipenuhi dengan emosi yang membara, tidak bisa berpikir jernih. Aku yang tau dan tidak ingin disalahkan. Pecahlah semua itu dalam kelasku. Teriakan-teriakan pembelaan, tangisan yang entah itu untuk apa. Selesai dan anggap memang telah selesai dengan sesuatu yang mengganjal. Pikiranku hanya satu, "Tak mungkin masalah ini selesai jika aku masih bersama Enggar di kelas ini!" Sempat terselip pikiran untuk pindah kelas. Tapi, amat disayangkan jika banyak pihak yang tidak setuju.

Sekian lama, sekian waktu yang menghilang, aku lupakan semua itu. Yah, aku punya seseorang yang lebih dari suka dan kagum. Aku senang menjalani hidupku bersamanya. Tiap hari terasa diberi pengetahuan-pengetahuan yang luar biasa. Agama juga tidak kalah. Aku senang, karena setelah penantian sekian taun, aku berhasil. Aku yakin dan yakin. Namun, sepertinya tebing telah terhempas ombak, hingga ia terkikis.

Enggar, cowok itu. Semakin lama, semakin aku benci. Semakin aku tidak peduli dan tidak mengenalnya. Sikapnya itu terlalu berlebihan. Aku sudah tidak peduli lagi. Tapi, nyatanya Lina masih menyimpan dendam. Dia kembali mengumbarkan amarahnya. Aku stay cool. Diam dan acuh. Tapi, aku mendapatkan kabar yang membuatku terbanting jauh. Apa lagi ini? Bukannya udah tamat, selesai, end. Kenapa dilanjutkan lagi? Aku toh juga tidak pernah menghubungi Enggar lagi. Kenapa dia memulai lagi. Awalnya aku tidak peduli dengan semua itu. Anggap saja itu bukan untukku. Tapi? Kenapa dia tetap berulah? Aku lelah dan kesabaranku sudah berada di titik nol. Aku marah, aku meluapkan semua yang ada dibenakku kepada Lina. Aku menjawab semua pernyataan dan pertanyaan dengan tenang. Tapi, nampaknya, dia sendiri yang kebingungan menjawab.

Sepertinya dia sudah kehabisan akal, tidak ingin cowok satu-satunya itu tervonis bersalah. Lina mengajak seorang yang sejujurnya masih aku sayangi. Aku kaget dan kaget. Perjanjian awal tidak demikian, mengapa dia mengajaknya. Sebenarnya aku telah mengetahui dari awal jika mereka telah menungguku, tapi sepertinya rasa kecewa yang terlalu berat ini tidak menuntun kakiku melangkah menuju mereka. Aku juga tau, Lina tidak dapat dihentikan, kecuali Enggar sendiri yang melarangnya. Percuma jika saat itu pula aku harus bertemu, mungkin hanya tengkar yang terjadi. Aku sakit saat itu. Dia? Kenapa kamu mau diajak Lina seperti ini? Entah, penuh dengan rasa kecewa dan marah.

Enggar? Dia telpon dan selalu berkata, "Aku ga tau masalah apa ini?" Please, kamu itu orang yang paling tau. Apa kamu juga masih menaruh rasa ego dan sombongmu dalam masalah ini? Aku terlalu lelah. Dia mengajakku bertemu dengan Lina di suatu tempat. Dalam benakku, sekali lagi percuma kalau harus berhadapan dengan Lina. Kalaupun aku melontarkan penjelasanku, sepertinya tidak akan pernah didengarkan olehnya. Aku resah dan bingung. Awalnya aku berkata iya jika harus bertemu di suatu tempat. Tapi, atas saran seseorang aku berhasil berkata, "Batal!" Aku yakinkan Enggar lagi tentang alasanku, yang pasti semua penjelasan yang terucap percuma. Sudahlah, aku mau turuti apa pun permintaan Lina. Itu saja pinta terakhirku. Aku tidak ingin berlarut-larut.

Yah, benar dugaanku. Percuma jika harus bertemu, toh keinginan Lina cuma satu itu saja. Tenang Lin, aku juga sudah mengerti sejak dahulu. Entah ini telah berakhir atau tidak. Aku sudah berkata maaf dan sepertinya Lina masih tetap saja menginginkan seorang Enggar tidak ingin tervonis bersalah.

Bunda, Ayah, cerita pendek ini mungkin dihadapan kalian tidak terlalu berarti dan tidak penting. Namun, telah merubah sebagian karakter dalam diriku. Maafkan aku Bunda, Ayah...

0 comments: