Sunday, February 26, 2012

Belajar Kritik Sastra


SAJAK BULAN MEI 1998 DI INDONESIA
OLEH : W.S. RENDRA

Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja.
Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan.
Amarah merajalela tanpa alamat.
Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.
Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.
O, jaman edan!
O, malam kelam pikiran insan!
Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.
Kitab undang-undang tergeletak di selokan.
Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
O, tatawarna fatamorgana kekuasaan!
O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja!
Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa
Allah selalu mengingatkan
bahwa hukum harus lebih tinggi
dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.
O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan!
O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!
Berhentilah mencari ratu adil!
Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya!
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah Hukum Adil.
Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.
Bau anyir darah yag kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata:
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat,
apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa,
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan,
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa,
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.
Wahai, penguasa dunia yang fana!
Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta!
Apakah masih buta dan tuli di dalam hati?
Apakah masih akan menipu diri sendiri?
Apabila saran akal sehat kamu remehkan
berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap
yang akan muncul dari sudut-sudut gelap
telah kamu bukakan!
Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi
Airmata mengalir dari sajakku ini.

Catatan :
Sajak ini dibuat di Jakarta pada 17 Mei 1998 dan dibacakan Rendra di DPR
(Kemarin Bengkel Teater mengirimkan dua sajak ke Jawa Pos)


Kritik Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia

“Sajak Bulan Mei 1998 di Indonesia” merupakan puisi karya Willibrordus Surendra Broto Rendra (W.S. Rendra), seorang sastrawan yang sangat apik dalam meliukkan kata-kata. Sesuai dengan tahun yang tertera pada judul puisi, karya sastra ini dibuat pada tahun 1998. Beliau menumpahkan seluruh pikiran dan perasaan hatinya. Mengkritik sistem pemerintahan dan situasi yang sedang membara pada waktu itu. Amarah yang meledak di hampir seluruh pojok kota. Disusul dengan jatuhnya penguasa orde baru, Soeharto.
            W.S. Rendra menulis berdasarkan situasi yang terjadi saat itu. “Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja, bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan, amarah merajalela tanpa alamat.” Di saat kekacauan Indonesia yang tak lagi terkendali, para pemimpin negara dan pemerintahan tidak lagi dipercaya oleh rakyat. Rakyat marah akan tindakan para pemimpin. Mereka berupaya agar para pemimpin lengser dari kedudukannya. Keributan dan pertentangan terjadi antara rakyat dan pihak atas. Banyak pertumpahan darah terjadi di mana-mana. Tidak ada pihak yang mau mengalah. Akan tetapi kalimat “amarah merajalela tanpa alamat” seperti kurang tepat. Kalimat tersebut memiliki maksud amarah yang tidak tahu akan diungkapkan untuk siapa. Nyatanya amarah mereka jelas-jelas tertuju kepada para pemimpin yang egois dan sesuai kehendak pribadi.
            Ketakutan muncul dari sampah kehidupan.” Sampah kehidupan merupakan simbol untuk pihak yang berkuasa. Para pemimpin itu menyadari atas amarah rakyat kepada sikap tak bersusilanya. Mereka hanya merasa takut, takut dihakimi rakyat, takut lengser dari kedudukan, dan takut hartanya lenyap. Sebuah sosok yang sangat tidak bertanggung jawab. Memporak-porandakan suatu sistem, namun takut dan tak kuasa mengembalikannya kembali. Pemimpin yang salah dipilih. “Pikiran kusut membentuk simpul-simpul sejarah.” Seakan tidak dapat dihentikan kembali. Tingkah yang semakin gusar melawan tiap pihak. Sebuah catatan sejarah yang buruk dan tragis. Terpikirkan sebuah duka atas sejarah yang akan dikenang sepanjang masa. Jaman yang membunuh banyak orang, “O, jaman edan!” Banyak yang mati hanya karena perpecahan yang belum menemukan titik temu. Keharmonisan yang tak lagi nampak. Jaman bagai manusia seperti hewan. Pertengkaran antara kucing dan anjing yang tidak dapat dihentikan. Penuh dengan aura nafsu tertanam pada manusia saat itu.
            Ketika itu Indonesia seperti gelap, tanpa arah dan pikiran kacau, “O, malam kelam pikiran insan.” Rakyat yang tak berdaya semakin tak sanggup menerima kehidupan di Indonesia. Rakyat telah menjadi korban para penguasa yang kehilangan akal sehat. “Koyak-moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan.” Tidak ada lagi sebuah kepercayaan. Setiap orang seakan pembohong. Sesosok yang kaya akan sikap dapat dipercayai dan melindunginya seperti lenyap dari muka bumi Indonesia. Banyak sekali kolusi, korupsi dan nepotisme yang dilakukan pihak berkuasa. Seakan mereka raja yang berhak bertindak apa saja. Peraturan yang ada tidak lagi berguna dan berpengaruh di mata para pemimpin tersebut. Rakyat semakin tak jelas hidup di masa itu. “Kitab undang-undang tergeletak di selokan. Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan.
            O, tatawarna fatamorgana kekuasaan! O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja.” Diungkapkan kembali bahwa pada saat itu pihak berkuasa yang paling berwenang. Kekuasaan dan kedudukan yang dimilikinya telah banyak disalahgunakan. Semua itu digunakan untuk memenuhi kepuasan pribadi. Mereka bertindak sewenang-wenang dan sepuas mereka. Kekuasaan yang nikmat telah menutup mata dan hati penguasa. “Dari sejak jaman Ibrahim dan Musa. Allah selalu mengingatkan bahwa hukum harus lebih tinggi dari keinginan para politisi, raja-raja, dan tentara.” Akan tetapi, para pemimpin seperti tidak pernah tau dan mendengar peringatan Tuhan tentang peraturan yang kedudukannya harus lebih tinggi dari apa saja. Baik lebih tinggi kepada pemimpin suatu daerah atau negara, maupun seseorang yang membuat peraturan tersebut. Sehingga dapat terbentuk sebuah tatanan antara penguasa dan rakyat yang harmonis. Peraturan yang ada dan telah disepakati harus dilaksanakan sepenuh hati. Yang paling utama merupakan hukum Tuhan, hukum yang paling adil dan tidak pernah memihak pada siapa pun.
            O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan! O, rasa putus asa yang terbentur sangkur!” Penjelasan ketakutan rakyat kembali diutarakan pengarang. Ada beberapa kalimat memiliki maksud dan pengertian yang sama. Sehingga nampak seperti diulang-ulang. Rasa putus asa yang terbentur sangkar itu seperti bermakna bahwa keputusasaan yang dirasakan rakyat sudah tidak lagi terbendung. “Berhentilah mencari ratu adil! Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya!” Putus asa mereka semakin mencuat. Dalam pikiran mereka, tidak ada lagi sesosok berjiwa pemimpin yang bijaksana dan bertanggung jawab. Mereka tidak akan menemukan lagi. Semua dari mereka itu hanya menipu diri. Baik di depan para rakyat, tapi terselip beribu keinginan licik dalam pikirannya. Seakan bumi sudah kehabisan manusia berjiwa pemimpin yang diidamkannnya. Namun, penggunaan Ratu di sini seperti cenderung kepada wanita. Seperti makna Ratu yang sebenarnya merupakan pemimpin wanita. Padahal, pemimpin pada waktu itu hampir semuanya pria.
            Apa yang harus kita tegakkan bersama adalah Hukum Adil. Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara.” Mereka kembali yakin dengan hukum. Hukum merupakan satu-satunya media yang mampu memperbaiki kekacauan. Asalkan hukum itu adil dan digunakan secara tepat serta proporsional. Hukum itu merupakan haluan dan batasan dalam bertindak di berbagai aspek kehidupan. Hukum akan memfilter para pengacau negara. Mematuhi semua aturan hukum, maka kehidupan akan terjalin dengan harmonis. Hukum harus ditegakkan kembali di balik kebobrokan para pemimpin negara.
            Bau anyir darah yang kini memenuhi udara menjadi saksi yang akan berkata: apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat, apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa, apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan, maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa, lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.” Diulang kembali suasana yang penuh dengan pertumpahan darah. Banyak sekali manusia Indonesia yang mati demi memperjuangkan haknya. Pemerintah sudah tidak mempedulikan rakyat. Kedaulatan dan hak rakyat terabaikan. Cukong menunjuk kepada pengusaha-pengusaha pemilik perusahaan-perusahaan besar. Awalnya kata tersebut untuk merujuk kepada atasan, bos, atau majikan, namun berubah menjadi konotasi negatif akibat banyaknya kecurangan dalam praktik perbisnisan mereka. Mereka dapat menjadi penguasa ekonomi pada waktu itu. Tidak hanya itu, aparat keamanan juga bertindak sewenang-wenang dalam mengamankan keadaan yang kian memburuk. Seperti mereka tidak ada gunanya. Jika semua pemimpin yang menjadi acuan sudah buruk seperti itu, tidak salah jika rakyat mengikuti perilaku para pemimpin. Rakyat pun bersikap semena-mena di lingkungan kesehariaan mereka. Bertindak seenak hati seperti yang telah dilakukan pemimpin mereka. Pemimpin yang seharusnya dijadikan contoh akhlak budinya.
            Wahai, penguasa dunia yang fana! Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta! Apakah masih buta dan tuli di dalam hati? Apakah masih akan menipu diri sendiri? Apabila saran akal sehat kamu remehkan, berarti pintu untuk pikiran-pikiran gelap yang akan muncul dari sudut-sudut gelap telah kamu bukakan!” W.S. Rendra dalam puisinya bertanya dan menyadarkan para pemimpin serta penguasa yang telah buta di berbagai aspek kehidupan. Mereka telah tergelincir tipuan dunia. Ulasan-ulasan yang telah digambarkan pada tiap bait puisinya bermaksud memberi jalan pikiran agar para pemimpin itu sadar dan alih haluan. Jika mereka tidak lagi ingin mendengar dan menerima, maka kekacauan dan derita telah menunggu di depan mata. Musibah yang tidak akan terduga. Mereka akan dikucilkan dan dibenci rakyat karena keras kepalanya pada harta. “Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi. Air mata mengalir dari sajakku ini.” Indonesia sedang berduka. Ditutupi oleh suasana kacau balau itu. Perasaan sedih dan sakit dirasakan pengarang. Betapa hancurnya Indonesia pada saat itu.
            Puisi karya W.S. Rendra memiliki beberapa pengulangan makna, walau menggunakan kata-kata yang berbeda. Adanya kalimat yang memiliki makna ganda, membuat pembaca berpikir akan arti yang sebenarnya. Seperti pada kalimat, “amarah merajalela tanpa alamat.” Dapat menimbulkan beberapa pengertian. Pemakaian kata yang kurang mendukung keadaan aslinya, seperti “Ratu adil itu tidak ada. Ratu adil itu tipu daya.” Ketika orang lain yang tidak mengetahui sama sekali akan berpikir akan pemimpin wanita saja yang tertuang pada kekacauan Indonesia. Namun, tiap kalimatnya saling bersinambungan. Pengarang juga tepat dalam pemilihan kata sehingga dapat menimbulkan bunyi kata yang enak didengar ketika dilantunkan. Tiap kata, kalimat, dan bait erat terjalin.
            Pada puisinya terlihat jelas akan pentingnya menjunjung Hak Asasi Manusia. Didukung pula dengan penyampaian peringatan Tuhan, Sang Kuasa Alam. Hidup di dunia tidak hanya menikmati secara pribadi. Namun, sudah sepantasnya dan merupakan kewajiban untuk memperhatikan orang-orang sekitarnya serta selalu berpegang teguh pada aturan-aturan Tuhan Yang Maha Esa. Ketika tindakan itu sudah terlanjur dilakukan, segera berubah dan mohon ampunan. Indonesia membutuhkan pemimpin yang jujur, bijaksana, dan bertanggung jawab. Tidak hanya sempurna di luar.

0 comments: