Monday, February 28, 2011

- I've Finished !! -

Yes, I've finished my last examination in first grade senior high school ..
It's so crazy ..
my last exam day, I didnt prepare my self ..
at the night, I didnt study ..
hahaa, but I've could finish my exam clearly ..
:D

Saturday, February 26, 2011

- just screaming -

Oh, God ..
What should I do ??
Just now, he told all about that ..
Doubtful
But, he told everything what someone told to me ..
I'll cry, but please rifdh !!
It just about their ..
No boy, no cry ..
but ,,, ..
- I cant avoid my heart purity -
- If I'm still loving him -

- Rajutan Keperihan Hidup -

          Tampak sebuah bangunan megah di antara gedung-gedung bertingkat yang menjulang tinggi. Walaupun suasana kota saat itu amatlah panas, namun halaman bangunan itu amatlah sejuk dengan pohon-pohon yang menyesaki, tetapi tertata rapi. Terkadang terlihat beberapa burung bersembunyi dilebatnya dedaunan. Ya, bangunan itu adalah salah satu rumah pasangan suami-istri pengusaha yang sedang berada di puncak kesuksesannya. Senang sepertinya hidup di antaranya. Tidak salah lagi, pasangan pengusaha itu adalah kedua orang tuaku dan aku hanyalah gadis remaja yang belum jauh mengenal dunia.
            Namun, tak seperti yang terlihat diluar keluarga. Runyam dan perih terpaut. Aku Raina, gadis remaja tanpa daya, hanya tertunduk lemas.
            “Apa kamu? Suami nggak becus! Mana janji-janji cintamu dulu? Cuma gombal!” teriak mamaku membisingkan seisi rumah.
            “Aku, aku, aku? Selalu aku yang salah. Gimana sama kamu sendiri? Tiap hari pulang dianter laki-laki beristri! Istri macam apa kamu itu?” serang Pak Didik, papaku. Di balik tembok itu, aku hanya berdiri sembari meneteskan air mata. Ku genggam sebatang lilin hijau dan ku pandang kelembutan cahaya api yang menerpa.
            Dalam lubuk hati, aku berkata, “ Tuhan, ku tak sanggup memikul semua beban ini. Aku ingin lepas dari semua jeratan ini. Aku ingin memiliki keluarga yang bahagia. Papa dan mama yang selalu sayang sama aku. Sedangkan aku, nggak ada rasanya kasih sayang dari mereka. Aku sayang mereka. Tapi, kenapa seperti ini?”
            Aku berlari secepat mungkin dan menghilang di balik kamar tempat mengeluarkan semua isi hatiku. “Braaakkk,” aku membanting pintu sekencang mungkin sebagai pelampiasan kemarahanku. Ku raih foto keluargaku di atas meja kecil. Ku perhatikan gambar diri mama dan papaku itu. Wajahku terpaut kebencian yang mendalam. Seketika itu, ku banting album foto itu. Ku pandang pecahan kaca yang berserakan di lantai. Ku pun meloncat ke tempat tidur dan memejamkan kedua mataku melupakan semua yang telah terjadi.
            Gusar dan pilu rasanya menghadapi lilitan hidup ini. Tiap detik, tiap langkahku, semakin banyak keperihan yang melanda. Ingin segera ku bantah dan ku tangkis hingga lenyap. Tapi, tak ada asa yang ku punya. Aku berdiri di tengah badai kerinduan akan keluarga yang bersatu hati. Remuk semua raga ini meratapinya.
            “Raina!! Kau ini mau belajar atau mau ikut lomba melamun? Pagi-pagi sudah melanglang buana. Cepat Kau cuci muka Kau itu!” suara Pak Hari dan gelak tawa teman-temanku menggugah lamunanku. Sepertinya hari tidak lagi pagi. Matahari saja sudah menampakkan batang hidungnya di atas kepalaku. Lagipula, dari zaman plankton sampai sekarang, nggak ada yang namanya lomba melamun. Memang guruku yang satu ini terlalu melebih-lebihkan. Salah lagi.
            “Eee… maaf, Pak,” perlahan ku segera bangkit dari bangku keras ini.
            “Cepat! Kaya putri solo saja Kau ini. Cepat! Cepat!” teriak Pak Hari. Gerah rasanya telingaku ini. Dengan perasaan jengkel bercampur malu, aku segera membawa badanku keluar dari penjara mengerikan ini. Namun, tetap saja pikiran itu masih menghantuiku. Tiap langkahku ke kamar mandi terasa 10 abad lamanya. Oh Tuhan, kenapa Kau tidak mencabut nyawaku ini sekarang?
            Setibanya di kamar mandi, aku langsung merogoh barang kesayanganku. Sahabat kecil yang selalu setia menemaniku kapanpun dan di manapun. Ya, sebatang lilin dan gemerlap cahayanya. Tenang banget melihatnya. Pancaran cahayanya menghipnotis diriku hingga perlahan melupakan semua masalahku. Lenyap semua ditelan indahnya nyala api ini.
            “Mengapa pula Kau di sini berlama-lama? Melamun pula. Mau jadi anak macam apa pula Kau ini?” ocehan Pak Hari mengacaukan semua rasa tenangku. Oh, sial. Kenapa duniaku dipenuhi Pak Hari ini sih?
            “Eee…,” tanpa kata dan tertunduk lemas tanpa daya.
            “Aaee… Aaee… cepat Kau ke ruang tamu! Ada yang ingin bertemu.”
            “Baik, Bu. Eh, maaf. Baik, Pak. Terima kasih,” tanpa memandang ke arahnya, sesegera mungkin aku meninggalkannya sendiri dan menuju ruang tamu. Hmmh.. ada apa ya? Tiba-tiba ada yang ingin bertemu denganku. Wah, jangan-jangan ada fansku yang minta tanda tangan atau ada produser film yang berniat mengajakku main film. Please, deh, Raina. Jangan berkhayal ketinggian! Ntar jatuh baru tau rasa kamu ini.
            Jlep, makhluk apa yang lagi merasuki mamaku sekarang. Tumben banget mau ke sekolahku. Biasanya mana sempat ngurusin aku, apalagi sekolahku. Paling-paling juga minta tolong Bibi Surti. Hanya pekerjaan dan pekerjaan yang mama pikirkan. Yang benar aja ada orang tua yang nggak tau sekolah anaknya. Teramat pilu rasanya hati ini.
            “Raina, sini nak!” panggil mamaku.
            “Mama tau dari mana Raina sekolah di sini? Bukannya mama uda nggak peduli lagi sama aku dan kehidupanku?” jawabku sinis dengan amarah teraut jelas.
            “Maaf sayang. Mama hanya ingin mengajakmu ke pengadilan.”
            “Hah! Memang mau ngapain di sana? Mau nggadaiin aku? Oke, aku mau kalau begitu,” bicara apa sih aku ini. Mana ada pengadilan dijadikan tempat penggadaian anak? Khayal.
            “Bukan, Raina. Emmh… Mama dan Papa, emmh… memutuskan untuk bercerai. Ini demi kebahagiaanmu, sayang.”  Tiap kata yang mama ucap seperti hujan meteor yang menghantam kepalaku. Pecah sudah semua harapanku. Sikapku yang selama ini cuek dan tidak peduli, ternyata tidak membuat orang tuaku jera dengan semua yang telah mereka lakukan padaku.
            “Cukup, Ma! Mending aku mati dari pada dateng di acara paling terkutuk itu,” tak tahan lagi aku terhadap semua ini. Ku tinggalkan mamaku sendiri di sana. Air mataku sudah membanjiri pipiku ini. Ku berlari dan terus berlari tanpa arah dan tujuan. Tak ada gunanya lagi hidup di dunia ini. Aku muak dan benci pada mereka semua.
            Ku terhenti saat ku sampai di sebuah rumah penuh kenangan. Kenangan yang sekarang telah hilang ditelan kemunafikan. Ku buka pintunya dan terlihat tiga lukisan manusia yang sedang tersenyum. Di sana aku berdiri termenung. Ku keluarkan sahabat kecilku dari kantong. Hanya dia satu-satunya yang masih peduli denganku. Keindahan apinya akan selalu memberi secercah ketenangan pada diri lemahku ini.
            Di ruangan itu hanya ada aku, sahabat kecilku, serta tiga lukisan yang manusia yang menyedihkan. Ku tatap sahabat kecilku dengan penuh keyakinan. Dan ku terlelap bersama indahnya cahaya api dan lukisan yang tak berguna lagi. Selamanya.

- I hate it -

Friend ..
What do you think about 'boy' ??
I think, they're so bad ..
They've bad behaviour ..
I met some boys ..
And they were same ..
Now, I cant believe to them ..
I hate them ..

- come back with me on my new blog -

haii, dunia n sahabatku ..
kayanya aku kudu hati-hati nih kalo buat acount ..
masa' password musti lupa ..
akhirnya, I'm coming back now at my new blog ..
:D

It's me now ..